Wednesday, February 21, 2007




Rekayasa Genetika merupakan bagian dari Bioteknologi yaitu ilmu teknik yang memanfaatkan sistem biologi untuk menghasilkan barangdan atau jasa. Sementara dalam arti luas rekayasa genetika merupakan teknik pengubahan organisme agar menghasilkan organisme baru dengan sifat-sifat bawaan yang dikehendaki. Menurut pengertian di atas „kawin silang“ merupakan salah satu cara dari Rekayasa Genetika, tetapi yang akan dibicarakan disini adalah Rekayasa Genetika Dengan Teknik Rekombinan DNA. Kedua macam teknik di atas mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing, antara lain seperti yang tercantum pada Tabel 1.


Tabel 1. Perbandingan Kawin Silang Dengan Rekombinan DNA

No

Parameter

Kawin Silang

Rekombinan DNA

1

Mikroba yang terlibat

Terbatas antar spesies

Tak terbatas

2

Sifat yang muncul

Yang dikehendaki maupun yang tak dikehendaki

Umumnya yang dikehendaki

3

Pelaksanaan

Lebih sederhana

Lebih rumit


Saat ini sudah banyak organisme yang telah berhasil „dibuat“ dengan Teknik Rekombinan DNA, mulai dari bakteri sampai tumbuhan dan hewan. Organisme-organisme tersebut sering disebut sebagai organisme transgenik atau GMO (Genetically Modified Organism), yang masing-masing mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu, misalnya E.coli yang mampu memproduksi insulin, ragi yang mampu memproduksi vaksin Hepatitis B, tanaman kapas yang tahan hama, padi yang mampu menghasilkan beras dengan kadar besi tinggi,ikan hias yang dapat menyala di kegelapan (glowfish), sapi yang air susunya mengandung hormon tertentu dan lain sebagainya.

Pembicaraan tentang Pengantar Rekayasa Genetika dengan Rekombinan DNA ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu:

A. Kloning Gen Pada Rekombinan DNA

B. Ekspresi tinggi gen pada sistem mikroorganisme

C. PEMURNIAN PROTEIN DENGAN METODE IMAC




  1. Kloning Gen pada Rekombinan DNA

Contoh dari Rekayasa Genetika dengan Teknik Rekombinan DNA adalah sebagai berikut:

Misalnya diinginkan ekspresi tinggi gen papain dari pepaya di E. coli , maka dilakukan tahapan rekayasa genetika seperti pada Gambar 4.1.

Plasmid DNA

Gen papain yang diinginkan.




- Pramotor kuat/

- Multi Kopi

Kromosom Pepaya

Diseleksi dng PCR


diligasi


Gen Papain



Plasmid + Gen Papain



E. Coli

Di Transformasi

Di Tumbuhkan





Di induksi dengan penambahan induser


Induser




Papain diiekspresi


Gen Papain



Gambar 4.1 Tahapan Teknik DNA Rekombinan untuk ekspresi tinggi gen papain di E. Coli.


Mengambil 1 segmen DNA dari sumber DNA (kromoson) dimasukkan ke dalam vektor (DNA sirkuler disebut plasmid). Untuk memperbanyak ekspresinya maka dipilih promotor yang kuat/multikopi (jumlah per sel banyak).

Vektor: - promotor kuat

- multi kopi

Plasmid: - single kopi

Multikopi: - low 10 (Low Copy Number)

- hight (High Copy Number)

Jika ada promotor kuat sebaiknya digunakan promotor kuat karena jika menggunakan plasmid multikopi selnya harus memelihara banyak plasmid, sehingga menghabiskan membutuhkan banyak energi.

Untuk memperbanyak gen di atas, maka:

Digunakan primer tertentu untuk menyeleksi gen dengan teknik PCR.

Jika sudah diperoleh maka dilakukan pemotongan DNA menggunakan enzim Endonuklease Restriksi (Pemotongannya khusus = memotong pada tempat-tempat khas/tertentu).

Setelah dipotong maka disambung dengan vektor yang mempunyai marker tertentu menggunakan enzim ligase

Setelah direkombinisasi kemudian digunakan untuk transformasi pada E. coli yang kemudian ditumbuhkan pada media selektif sehingga yang tumbuh hanya E.coli transforman. Selanjutnya E. Coli transforman dibiakkan lagi pada media ekspresi dengan bantuan induser sehingga menghasilkan protein yang diinginkan (papain). Cara-cara ekspresi tinggi suatu gen pada mikroba akan dijelaskan kemudian


Beberapa macam obat yang beredar saat ini (Tabel 4.2) juga dihasilkan dari organisme transgenik.

Tabel 4.2. Produk Biotek yang sudah beredar (obat)

No.

Nama Zat

Indikasi

Nama Patent/Pabrik

1.

Human insulin

Diabetes militus

Humulin (Genentech)

2.

Vaksin hepatitis B

Pencegahan hepatitis B

HB-vax-II (MSD)

Hepavax-Gen (Novell)

3.

TPA (tissue plasma aktivator)

Infark miokardia

Actylise

4.

Human growth hormon

Kelambatan pertumbuhan

Nutropin (Genentech)

5.

Somatropin

Pertumbuhan yang terlalu cepat

Genotropin (Upjohn)


B.Ekspresi tinggi gen pada sistem mikroorganisme

    1. Ekspresi tinggi gen pada sistem prokariot (E. coli)

Model perangkat ekspresi tinggi eRF1 di E. coli mengacu pada pengendalian sistem operon pada bakteri (Gambar 4.10), dan dapat dijelaskan sebagai berikut. Plasmid ekspresi tinggi (pUKC630 / pITB51) membawa urutan pengkode (ORF: open reading frame) protein target (eRF1 berekor 6xHis pada ujung C), di bawah kendali promotor kuat yang berasal dari virus T7. Promotor ini sangat spesifik, karena hanya dapat berinteraksi (untuk memulai transkripsi gen target) dengan RNA polimerase tertentu yang juga berasal dari virus T7 (RNA polimerase T7). Sementara urutan pengkode (ORF) RNA polimerase virus T7 berada pada kromosom sel inang (E. coli BL21DE3). dan tak dapat diaktifkan oleh RNA polimerase E. coli, begitu juga sebaliknya.
















Gambar 4.10 Model mekanisme ekspresi tinggi di E. coli. Vektor ekspresi yang digunakan adalah pUKC630 / pITB51, sedangkan sel inangnya E. coli galur khusus (BL21DE3). Tanpa adanya induser (IPTG) protein represor (produk gen lac I) akan terikat pada daerah operator (O), sehingga menghalangi RNA polimerase E. coli untuk mentranskripsi gen RNA polimerase virus T7. Dengan adanya induser, protein represor akan diikat sehingga menjadi tak aktif. Hal ini menyebabkan aktifnya RNA polimerase E. coli untuk mentranskripsi gen RNA polimerase T7. Selanjutnya mRNAnya ditranslasi menghasilkan protein RNA polimerase T7 yang segera berinteraksi dengan promotor T7 (P.7) untuk mentranskripsi gen target, sehingga protein target terekspresi.


Ekspresi gen RNA polimerase virus T7 dikendalikan oleh promotor dan operator yang berasal dari sel inang sendiri, yaitu promotor lac UV5 dan operator yang komplemen dengan protein represor, yaitu produk gen lac I. Setiap promotor bersifat spesifik, artinya hanya dapat berinteraksi dan diaktifkan oleh RNA polimerase tertentu. Misalnya promotor T7 hanya dapat diaktifkan oleh RNA polimerase yang berasal dari virus T7.Tanpa adanya zat penginduksi isopropyl--D-thiogalactopyranoside (IPTG) protein represor akan terikat pada daerah operator gen RNA polimerase T7, sehingga RNA polimerase E. coli yang sudah terikat pada promotor lac UV5 tak mampu mentranskripsi gen RNA polimerase T7. Sebaliknya, dengan masuknya IPTG kedalam sel yang kemudian berikatan dengan protein represor, menyebabkan represor menjadi tidak aktif dalam menghalangi aktifitas RNA polimerase E. coli. Aktifnya RNA polimerase E. coli menghasilkan mRNA dari RNA polimerase T7, yang selanjutnya ditranslasi oleh perangkat translasi sel inang menghasilkan RNA polimerase T7. Enzim terakhir ini segera menempel pada promotor T7 vektor ekspresi dan memulai ekspresi gen target (SUP45), sehingga menghasilkan protein target eRF1.

Umumnya RNA polimerase yang berasal dari bakteri (BM sekitar 450 kD) mengkatalisis sintesis RNA dengan kecepatan 12-19 nukleotida perdetik (Chamberlin et al., 1979), sementara RNA polimerase virus ukurannya lebih kecil (BM sekitar 98 kD), dan jauh lebih aktif, karena mampu mentranskripsi DNA dengan kecepatan sampai 200 nukleotida perdetik (Chamberlin et al., 1983). Dengan demikian transkripsi gen target di bawah kendali promotor kuat T7 pada sistem di atas, meningkat lebih dari 10x dibanding kecepatan transkripsi normal pada E. coli. Hal ini juga menyebabkan terjadinya peningkatan ekspresi gen target lebih dari 10x dibanding gen-gen normal lainnya, sehingga terjadi apa yang disebut ekspresi tinggi.


2.Ekspresi gen pada sistem eukariot (ragi)

Seperti telah diuraikan di muka jumlah dan frekuensi ekspresi suatu gen dikendalikan oleh suatu sistem regulasi ekspresi di dalam sel. Regulasi ekspresi gen pada ragi berbeda dengan regulasi ekspresi gen pada bakteri. Umumnya mRNA prokariot bersifat polisistronik, sementara mRNA pada ragi, seperti juga mRNA sel eukariot yang lain, bersifat monosistronik, artinya hanya membawa informasi genetik untuk satu macam polipeptida (Sherman and Stewart, 1982).

Sebagai pengendali ekspresi gen pada ragi dikenal adanya elemen pengendali (control element). Elemen pengendali berupa segmen DNA yang umumnya terletak pada kedua ujung ORF, dan merupakan bagian dari suatu gen. Pengendalian ekspresi terjadi karena interaksi elemen pengendali dengan protein-protein seluler tertentu, sehingga sintesis RNA mulai berlangsung atau terhenti pada posisi tertentu sepanjang kromosom. Elemen pengendali ini memiliki dua segmen DNA yaitu urutan pengaktif hulu (upstream activating sequence: UAS) dan urutan penghambat hulu (upstream repressing sequence: URS) yang berada ratusan pasang basa sebelum transkripsi dimulai (Gambar 4.11).













Gambar 4.11 Regulasi ekspresi gen pada ragi. Posisi relatif segmen pengaktif UAS dan segmen penghambat URS terhadap keseluruhan gen, ditunjukkan oleh garis putus-putus. Terikatnya protein aktivator (A) pada UAS mengaktifkan transkripsi gen, sedang terikatnya protein penghambat R pada URS, justru menghambat terjadinya transkripsi (Watson et al., 1987)


Jika UAS berinteraksi dengan protein pasangannya (protein aktivator), maka sintesis mRNA segera terjadi atau menjadi lebih cepat, sebaliknya jika segmen URS yang berinteraksi dengan protein pasangannya (protein repressor), maka sintesis mRNA menjadi lambat atau terhenti sama sekali (Watson, 1987).







Gambar 4.12 Susunan urutan daerah promotor GAL1, GAL10, dan GAL7. Arah transkripsi GAL1 berlawanan dengan transkripsi Gal10 dan GAL7. Sebagai aktivator ketiga gen adalah protein Gal4 yang dikendalikan oleh protein Gal80 dan galaktosa (Watson et al., 1987).


Sebagai contoh bagi regulasi oleh elemen pengendali pada ragi, adalah aktivitas promotor dari gen-gen yang terlibat dalam metabolisme galaktosa yaitu gen GAL1 (gen galaktokinase), GAL7 (gen galaktosa transferase) dan GAL10 (gen galaktosa epimerase) (Gambar 4.12) (Watson et al., 1987). Ketiga gen baru terekspresi jika ragi ditumbuhkan pada media yang hanya mengandung galaktosa sebagai sumber karbon. Protein aktivator ketiga gen adalah produk gen GAL4 dengan bobot molekul 99 kDa. Protein ini telah dibuktikan terikat pada bagian UAS ketiga gen, dan pada keadaan normal, seperti perkiraan semula, ditemukan pada inti sel, tempat regulasi berlangsung. Aktifitas protein Gal4 dihambat oleh adanya glukosa atau gliserol, yang diduga menghalangi terikatnya protein itu ke sisi UAS (Martegani et al., 1990).



















Gambar 4.13 Model mekanisme aktifasi promotor GAL1,10 oleh kompleks Gal4-Gal80-galaktosa. Tanpa galaktosa protein Gal4 tak dapat berinteraksi /mengaktivasi kompleks prainisiasi karena salah satu sisi aktifnya terhalang oleh protein Gal80. Adanya galaktosa, yang mampu mngikat dan melepaskan Gal80 dari Gal4, menyebabkan kedua sisi aktif Gal4 bebas dan mampu mengaktivasi kompleks prainisiasi menyebabkan terjadinya transkripsi gen (disari dari Lewin, 1995 dan Mathews et al., 2000).


Hasil studi struktur-fungsi terhadap protein Gal4 yang terdiri dari 881 residu asam amino telah membuktikan bahwa protein ini mempunyai empat domain, yaitu satu domain pengikat DNA (residu 1-65), satu domain dimerisasi (residu 65-94), dan dua domain aktifasi (residu 148-196 dan 768-881) (Gambar 4.13) (Lewin, 1995). Di samping itu protein lain, yaitu produk gen GAL80 bertindak sebagai regulator negatif bagi aktifitas Gal4. Ragi mutan yang kehilangan fungsi gen GAL80, mengekspresikan gen GAL1, GAL7 dan GAL10 secara konstitutif, meskipun medianya tidak mengandung galaktosa. Protein Gal80 mampu membentuk kompleks dengan Gal4 pada domain aktivasi ke dua (residu ke 851-881), sehingga sisi aktivator pada domain itu terhalang dan transkripsi dihambat atau terhenti (Lewin, 1995) (Gambar 4.13). Protein Gal4 aktif sebagai aktivator jika medianya hanya mengandung galaktosa sebagai sumber karbon. Dalam hal ini galaktosa mampu mengikat protein Gal80 dan melepaskannya dari Gal4 (Lewin, 1995), dengan demikian kedua sisi aktif Gal4 menjadi bebas dan mampu mengaktifkan kompleks pra inisiasi (RNA polimerase-faktor-faktor inisiasi) sehingga terjadi transkripsi gen GAL1, GAL10 atau GAL7 (Gambar 4.12 dan 4.13).


C.PEMURNIAN PROTEIN DENGAN METODE IMAC

Protein merupakan makromolekul yang strukturnya sangat kompleks. Pada satu sisi komplekssitas struktur protein memungkinkannya untuk memiliki fungsi yang sangat beragam, namun pada sisi yang lain komplekssitas tersebut menyebabkan sulitnya mengembangkan protokol pemurnian yang serba guna untuk berbagai macam protein, karena sifat fisika-kimianya yang sangat beragam. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini ialah dengan menambahkan suatu ‘ekor’ (tag) pada protein target dengan mengkonstruksinya dalam bentuk protein rekombinan atau protein fusi. Ekor tersebut sengaja dipilih sedemikian rupa sehingga memudahkan pemurnian protein dengan kromatografi affinitas menggunakan teknologi IMAC (immobilized metal affinity chromatography).

Prinsip pemurnian dengan teknologi IMAC didasarkan pada interaksi yang dapat balik (reversible) antara berbagai macam rantai samping residu asam amino pada suatu protein dengan ion-ion logam transisi yang diamobilisasi. Kekuatan interaksi disamping dipengaruhi oleh jenis ion logam, juga dipengaruhi oleh jenis rantai samping asam amino, yang biasanya adalah histidin sistein atau use (Zhao et al., 1991). Diantara residu-residu asam amino tersebut residu histidin memiliki selektifitas yang tinggi dalam berikatan (koordinasi) dengan ion-ion logam transsisi, sehingga banyak dimanfaatkan dalam IMAC (Porath, 1985; Sulkowski, 1985 dan Zhao et al., 1991). Meskipun tiga residu histidin sebagai ekor protein sudah mampu mengikat ion logam pada kondisi tertentu, tetapi pada kondisi dimana ada denaturan yang kuat (misalnya GuHCl atau urea), diperlukan sedikitnya enam buah residu histidin sebagai ekor, agar protein target masih mampu mengikat ion logam (Hochuli et al., 1987). Selanjutnya ekor protein tersebut biasa ditulis sebagai ‘6xHis’, ‘hexaHis’ atau (His)6.

Ekor 6xHis dalam protein fusi mempunyai tingkat imunogenik yang rendah. Disamping itu pada pH 8,0, ekor protein yang relatif kecil itu, tidak bermuatan sehingga pada umumnya tak berpengaruh terhadap sekresi, lokalisasi maupun folding proteinnya di dalam sel. Pada hampir semua kasus, ekor tersebut tidak mempengaruhi struktur maupun fungsi proteinnya, seperti yang pernah dibuktikan pada berbagai jenis protein termasuk enzim, faktor-faktor transkripsi dan vaksin (Qiagen, 1997). Khusus bagi protein eRF1(His)6 yang berasal dari sejenis katak (Xenopus laevis), yang dioverekspresikan di E. coli kemudian dimurnikan dengan IMAC, secara in vitro masih dapat menghidrolisis formil metionin bertanda (f[35S]Met) dari kompleksnya (f[35S]Met-kodon terminasi-ribosom 80S). Bahkan uji aktivitas (hidrolisis) tersebut juga menunjukkan bahwa aktivitas spesifik protein eRF1(His)6 dari X. laevis masih lebih tinggi dibanding aktivitas spsifik protein eRF1 tak berekor yang berasal dari manusia (Frolova et al., 1994). Hal ini menyarankan bahwa aktivitas release factor eRF1(His)6, tidak dipengaruhi oleh ekor 6xHis.

Pengikatan ekor 6xHis ke resin IMAC tak dipengaruhi oleh konformasi protein, sehingga metode IMAC dapat digunakan untuk memurnikan protein native maupun protein hasil denaturasi. Selain itu pengikatan ekor tersebut juga tak terpengaruh oleh adanya hampir semua detergent (sampai konsentrasi 2%), denaturant (sampai 8M) maupun garam seperti NaCl (sampai 2M) (Qiagen, 1997). Bahkan adanya garam atau detergen justru dapat mengurangi non spesific binding, sehingga dapat meningkatkan kemurnian proteinnya.

Sebagai pengkelat ion logam pada IMAC semula digunakan ligan asam imino diasetat (imino diacetic acid: IDA) (Sulkowski, 1985). Namun ikatan ligan IDA dengan ion logam relatif lemah karena hanya terdiri dari tiga ikatan koordinasi (tridentate). Lemahnya ikatan tersebut menyebabkan ion logam mudah lepas, sehingga protein yang diikatnya ikut terlepas selama pencucian. Akibatnya, disamping protein hasil pemurnian (yields) yang relatif sedikit dan kurang murni, juga terkontaminasi oleh ion logam (Qiagen, 1997)..

Sementara itu asam nitrilo asetat (nitriloacetic acid: NTA) adalah suatu tetradentate chelating adsorbent yang dikembangkan untuk mengatasi masalah diatas. Ligan NTA yang menempati 4 dari 6 sisi pengikat ligan dari ion nikel atau kobalt, menyisakan 2 sisi pengikat bebas untuk berinteraksi dengan ekor 6xHis (Gambar V.5). NTA mengikat ion logam jauh lebih stabil daripada resin-resin pengkelat lain yang ada saat ini (Hochuli, 1989), dan tetap mengikat ion logam pada variasi kondisi yang lebih luas, khususnya pada kondisi pencucian yang kuat. Oleh karena itu matriks NTA, yang unik dan telah dipatenkan ini, mampu mengikat protein-protein berekor 6xHis lebih kuat dari pada matrik IDA, sehingga mampu memurnikan protein dengan kadar kurang dari 1% menjadi lebih dari 95% dari protein total, dengan hanya sekali pemurnian (Janknecht et al., 1991)

Sedikitnya .ada dua macam resin IMAC komersiil yang menggunakan matrix NTA sebagai pengkelat, yaitu Nikel based IMAC resin (Ni-NTA) dan Cobalt based IMAC resin (Co-NTA). Nikel based IMAC resin cenderung untuk juga mengikat protein-protein yang tak dinginkan, yaitu protein-protein sel inang yang banyak mengandung residu histidin pada permukaannya (Kasher et.al., 1993). Sementara Cobalt based IMAC resin mempunyai selektifitas yang lebih tinggi, dan terbukti punya affinitas yang lebih rendah terhadap protein-protein sel inang, sehingga dapat menghasilkan protein yang lebih murni (Clontech, 1999).

diantaranya dengan gugus asetat dari pengkelat NTA, sedang dua sisanya dengan dua gugus imidazol pada dua buah ekor histidin pada protein (His)6.

Salah satu Cobalt based IMAC resin adalah resin Talon, yang dirancang khusus untuk memurnikan protein rekombinan berekor 6xHis (Bush et al., 1991). Resin Talon mengandung Sepharose 6B sebagai fase diam, pengkelat NTA, dan ion Co2+ (Gambar V.5). Talon komersiil berupa 50% (v/v) suspensi resin dalam 20% etanol, dimana tiap 2 mL suspensi resin (1 mL resin) mampu mengikat sedikitnya 5 mg protein (His)6.














Gambar 4.5 Ikatan koordinasi antara ion logam transisi dengan pengkelat NTA dan ekor protein (His)6.


Ion Ni 2+mampu membentuk enam buah ikatan koordinasi, empat Disamping awet, resin Talon juga dapat digunakan untuk memurnikan protein native maupun yang sudah terdenaturasi (Clontech, 1999).